Kamis, 16 Juni 2011

Menanggulangi Depresi Secara Tepat


Depresi kerap disamakan dengan kesedihan yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tidak dianggap penyakit, apalagi gangguan jiwa. Bahkan, di lingkungan budaya tertentu, depresi dianggap sebagai kelemahan kepribadian atau karakter.

Kuatnya pengaruh budaya dan kepercayaan mendorong masyarakat mencari pertolongan atas depresi yang diderita lewat paranormal atau pengobatan tradisional. Karena ketidaktahuan masyarakat itulah, muncul sejumlah mitos dan konsepsi keliru mengenai depresi. Beberapa mitos menyebut: depresi dapat diatasi sendiri, depresi dianggap lemah pikiran dan mental, atau pasien depresi dianggap melakukan suatu dosa. 

Semua itu tentu tidak benar. Yang pasti, depresi siapapun penderitanya dapat memengaruhi suasana hati, kondisi fisik, dan pikiran Anda. Perasaan itu bisa sedemikian kuat sehingga kehidupan Anda sehari-hari terganggu. Depresi juga bisa membuat Anda merasa bersalah dan merasa tidak berguna meski Anda telah
melakukan apa saja yang menurut Anda terbaik. Gara-gara depresi, Anda pun mungkin tidak berminat terhadap hal-hal yang sebelumnya Anda sukai. Karena depresi pula, energi Anda terkuras sehingga tubuh merasa letih dan lelah. Dan yang paling parah, depresi juga bisa menggiring seseorang melakukan bunuh diri.

Semua gejala depresi itu muncul akibat ketidakseimbangan neurotransmitter (zat penghantar dalam sistem syaraf) seperti serotonin, (neurotransmitter yang mengatur perasaan), norepinefrin (neurotransmitter yang mengatur energi interest), dan dopamine (neotransmitter yang mengatur minat) di berbagai bagian otak kita. Depresi tidak mengenal batas usia, jenis kelamin, kedudukan, suku, maupun ras. Sementara faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab depresi adalah genetik (keturunan), biologis, kepribadian, dan psikosial. Sebuah studi menunjukkan, anak kandung dari orangtua yang menderita depresi berisiko lebih tinggi mengalami depresi walaupun diasuh oleh orangtua angkat yang tidak depresi.

Depresi merupakan gangguan mental yang paling banyak menimbulkan beban distabilitas. Depresi dapat meningkatkan morbiditas (kesakitan), mortalitas (kematian), risiko bunuh diri, serta berdampak pada penurunan kualitas hidup pasien dan seluruh keluarga. Sayangnya, sampai saat ini depresi masih belum dapat dipahami secara baik oleh masyarakat. Padahal, berbagai penelitian menunjukkan, pasien dengan gangguan depresi merasakan adanya keluhan fisik dan gangguan mental. Mengutip hasil studi mengenai hubungan depresi dan gejala somatik yang dilakukan Simon GE pada 1999, dikatakan, sebanyak 69 persen pasien dengan gangguan depresi mengemukakan keluhan fisik. Keluhan fisik dan gangguan mental bisa datang pada saat bersamaan. Keadaan ini akan memperburuk prognosis. ''''Mereka yang mengalami penyakit fisik berisiko
mengalami gangguan mental 3,5 kali lebih besar daripada mereka yang sehat,'''' Makin berat penyakit fisik makin besar pula kemungkinan untuk mengalami gangguan mental. Penyakit fisik yang paling sering menjadi pencetus gangguan mental adalah penyakit neurologik, jantung, paru-paru kronis, kanker, cacat fisik, dan arthritis (radang sendi). Sedangkan gangguan mental yang paling sering terjadi adalah kecemasan dan depresi.
Terapi Penderita depresi perlu melakukan terapi secara tepat. Hal ini untuk menghindari konsekuensi bila tidak mencapai kesembuhan. Konsekuensi yang dimaksud yaitu: kendala psikososial berkepanjangan, memperburuk prognosis, menambah beban pelayanan medis, meningkatnya risiko bunuh diri dan penyalahgunaan zat, serta meningkatnya risiko kekambuhan. Adapun tujuan terapi depresi adalah meningkatkan kualitas hidup, mengurangi atau menghilangkan gejala, mengembalikan peran dan fungsi, mengurangi risiko kekambuhan, serta mengurangi risiko kecacatan atau kematian. Namun, ada faktor yang memengaruhi hasil terapi, yakni pasien, masyarakat, dokter, dan obat. Pada pasien biasanya berupa ketidakpatuhan karena berbagai sebab satunya tidak peduli. Pada masyarakat atau lingkungan adalah karena mitos, kepercayaan, dan stigma. 

Dokter juga bisa memberi pengaruh yang tidak baik pada hasil terapi, misalnya jika dokter kurang mengenali gejala depresi. Sedangkan pada obat, biasanya menyangkut efektivitas, efek samping, kemudahan, dan harga. Khusus mengenai obat, penderita depresi sebaiknya menggunakan obat antidepresan serotonin nor epinefrin reuptake inhibitor (SNRI). Mengapa SNRI? Sebab, obat ini mampu bekerja ganda yakni menghambat reuptake serotonin dan nor epinephrine. Penelitian oleh Wyeth Pharmaceutical menunjukkan, golongan obat SNRI dapat mempertahankan keseimbangan sejumlah zat kimia dalam otak yakni serotonin dan norepinefrin, sehingga mencegah kekambuhan dan dan berulangnya depresi. Obat ini juga bekerja dengan cepat. Dengan dosis sekali sehari, efeknya telah dapat dirasakan oleh pasien setelah empat hari penggunaan. bur Jangan Berdiam Diri Banyak hal bisa membuat seseorang merasa cemas, stres, dan akhirnya jatuh ke jurang depresi. Jika suatu kali Anda pun merasakan gejala-gejala depresi, jangan berdiam diri. Segeralah bertindak untuk menolong diri Anda sendiri. Bagaimana caranya? Langkah-langkah berikut mudah-mudahan bisa membantu Anda. 

* Bersikaplah realistis, jangan terlalu idealis.
* Kalau Anda punya tugas atau pekerjaan yang menggunung, bagilah tugas-tugas
itu dan buat prioritas. Lakukan tugas yang memang bisa Anda kerjakan.
* Jika punya masalah, jangan pendam sendiri. Cobalah ''curhat'' pada orang yang
Anda percayai. Biasanya, hal ini akan membuat perasaan lebih nyaman dan ringan.
* Cobalah ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan yang bisa membuat hati Anda
senang, semisal berolahraga, nonton film, atau ikut dalam aktivitas sosial.
* Berusahalah untuk selalu berpikir positif.
* Jangan ragu dan malu untuk meminta bantuan pada keluarga atau teman-teman.

0 komentar:

Posting Komentar